Oleh : Tommy Abdillah, ST
Artikel ini telah dimuat diharian Batam Pos rubrik opini pada tgl 20 Maret 2015
Manusai sebagai makhluk yang sempurna (ahsanu taqwim) memiliki akal yang senantiasa dihadapkan dengan perbedaan pandangan maupun perbedaan pendapat dalam menyikapi suatu perkara. Sumber pokok ajaran Islam adalah Al-quran dan Al-hadist yang terpancar dari keduanya petunjuk hidup, penjelas dan pembeda antara yang haq dengan yang bathil. Dalam memahami nash dalil baik yang bersumber dari Al-Quran maupun dari Al-hadist sering terjadi perbedaan pendapat (ikhtilaf) sehingga dalam praktek pengamalannya tak jarang berimplikasi pada renggangnya hubungan ukhwah islamiyah bahkan bermuara kepada perpecahan diantara umat Islam. Seiring berkembangnya syi’ar da’wah islam melalui lembaga-lembaga organisasi kemasyarakatan islam sangat dibutuhkan upaya menjaga stabilitas hubungan silaturahim dan ukhwah islamiyah sehingga dapat menghindari terjadinya konflik internal umat Islam maka penulis berupaya memberikan sumbangsih pemikiran dalam tulisan ini untuk bertasamuh atau bertoleransi dalam perbedaan pendapat dan dapat merajut ikatan ukhwah islamiyah.
Perbedaan pendapat telah ada sejak masa sahabat Rasulullah SAW
Perbedaan pendapat dalam memahami nash dalil baik dalil Al-Quran maupun dalil Al-hadist sebenarnya telah terjadi sejak generasi sahabat Rasulullah SAW seperti dalam peristiwa perang khandaq Rasulullah SAW bersabda, Janganlah salah seorang diantara kalian melaksanakan shalat ashar kecuali di banu Quraizhah.(HR.Thabrani). Dalam menyikapi pernyataan ini para sahabat Rasulullah ada diantara mereka yang shalat didalam perjalanan dan sebahagian yang lain mengakhirkannya hingga sampai di Bani Quraizhah sementara Rasulullah SAW mendiamkan mereka dalam hal ini. Umar bin khatab r.a berbeda pendapat dengan Abu bakar siddiq r.a mengenai jatuhnya talaq. Abu bakar mengadopsi bahwa terjadinya ucapan talaq tiga kali merupakan talaq satu akan tetapi Umar mengadopsi yang lain yaitu terjadinya ucapan talaq tiga sebanyak tiga kali berturut-turut dalam satu waktu seperti jika suami berkata kepada isterinya, kamu saya cerai, saya cerai, saya cerai adalah merupakan talaq tiga.(Ibnu Rusyd, Bidayah Al-mujtahid).
Ruang lingkup perbedaan pendapat
Ikhtilaf ada dua macam yaitu : ikhtilaf yang terpuji dan ikhtilaf yang tercela. Ikhtilaf yang terpuji adalah dalam perkara-perkara dzanni dari perkara furu’ (cabang agama) sebagaimana ikhtilaf yang didiamkan oleh Rasulullah SAW kepada para sahabat juga seperti ikhtilaf para sahabat dalam perkara-perkara yang ada pada mereka. Sedangkan ikhtilaf yang tercela adalah menyangkut perkara pokok-pokok agama (ushuluddin) seperti aqidah Islam.
Perbedaan perkara furu’(u) Ad-diin Perkara-perkara fiqih praktis yang di istinbath (digali) dari dalil-dalil terperinci terbagi kepada 2 yaitu :
- Perkara-perkara yang qath’i baik qath’i tsubut (sumber) maupun dilalah (penunjukkan) hukumnya.
- Perkara-perkara yang dzanni dalam tsubut atau dilalahnya ataupun dalam kedua-duanya sekaligus.
Adapun perkara qath’i dalam tsubutnya maka ia berarti pasti bahwa sumbernya berasal dari Allah dan Rasul-Nya yakni dari Al-Quran atau hadist mutawattir. Sedangkan perkara yang qath’i dalam dilalahnya yaitu yang pasti dalam penunjukkannya yakni pasti (qath’i) maknanya dan tidak diambil darinya kecuali satu makna saja seperti haramnya khamar, haramnya zina, haramnya riba atau haramnya membunuh ataupun mencuri. Semua itu tsabit (tetap) dan qath’i dan tidak mengandung makna kecuali satu makna saja. (Syekh Muhammad Asy-syuwaiki, Al-khalash wa ikhtilaf An-nas hal 80).
Sebab-sebab terjadinya ikhtilaf
Adapun faktor-faktor penyebab terjadinya perbedaan pendapat adalah, Pertama : perbedaan qiraat (bacaan). Contoh untuk hal ini adalah ikhtilaf tentang wudlu’apakah diartikan mencuci ataukah sekedar mengusap berkaitan dengan kedua kaki. Allah SWT berfirman, Hai orang-orang yang beriman apabila kamu hendak mengerjakan shalat maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.(QS.Al-maidah:6). Mereka yang mengambil makna “membasuh” mengambil qiraat Nafi’ Ibnu umar dan Al-kisaiy kalimat wa arjulakum dengan me-nashab-kan yakni bacaanya kembali kepada kata wujuhakum. Dan yang mengambil makna “mengusap” mengambil qiraat ibnu katsir, Abu Amru dan Hamzah wa arjulakum dengan men-jar-kan yakni dikembalikan pada perkataan biru uwsikum.
Kedua : Tidak adanya pengetahuan atas keseluruhan hadist yang diketahui oleh salah seorang ulama atau fuqaha, sedangkan yang lain tidak mengetahuinya atau suatu hadist diketahui oleh sahabat sedangkan yang lain tidak mengetahuinya atau bahkan tidak mendengar hadist tersebut. Ketiga : Perbedaan dalam memahami nash dan tafsirnya. Contoh para ulama berbeda pendapat dalam mengartikan kalalah seperti didalam Al-Quran Surat An-nisa’ ayat 12. Keempat : Keluasan bahasa Arab dari penunjukkan maknanya seperti adanya isytarak, hakikat, majaz, mutlak, muqayyad, ‘am, khas, mufashal dan mujmal. Seperti makna tsalasata quru’ dalam Surat Al-baqarah ayat 228, apakah maknanya 3 kali suci ataukah 3 kali haidh. Kelima : Tidak adanya nash yang menjelaskan dengan rinci atas suatu perkara dan jalan untuk masalah ini adalah ijtihad. Banyak perkara baru yang terjadi dan menimpa diantara individu umat pada suatu masa dan tidak ditemukan nash (yang jelas dan rinci) bagi perkara tersebut didalam Al-Quran ataupun Al-hadist, maka dilakukan ijtihad dikarenakan kebutuhan terhadap adanya hukum atas perkara tersebut. Keenam : Adanya syak (keraguan) mengenai tsubut (sumber) suatu hadist. Para sahabat Rasulullah SAW tidak pernah tergesa-gesa dalam melakukan sesuatu dengan suatu hadist yang dinukilkan kepada mereka hingga mereka mengecek terlebih dahulu tentang apa yang dinukil tersebut dikarenakan takut adanya prasangka. Ketujuh : Pertentangan antar dalil (ta’arudh). Contohnya terdapat nash yang menyatakan keharaman berobat dengan benda najis dan dengan benda yang haram.(Imam Ibnu Hazm, Al-ihkam fiy ushul al-ahkul al-ahkam).
Sikap ulama mazhab terhadap perbedaan pendapat
Para fuqaha dalam mengemukakan berbagai pendapat ijtihadnya mereka mampu menunjukkan kedewasaan sikap, toleransi dan objektivitas yang tinggi. Mereka tetap mendudukkan pendapat mereka di bawah Al Qur’an dan Hadits, tidak memaksakan pendapat dan selalu siap menerima kebenaran dari siapa pun datangnya. Dapat dikatakan mereka telah menganut prinsip relativitas pengetahuan manusia. Sebab kebenaran mutlak hanya milik Allah SWT. Berikut ini beberapa pernyataan para ulama mazhab tentang pendapat mereka :
- Imam Abu Hanifah (Lahir tahun 80 Hijriyah) beliau berkata : ini adalah pendapatku dan inilah yang terbaik menurut pendapatku. Maka barang siapa yang datang dengan pendapat yang lebih baik dari pendapatku maka kami akan menerimanya.
- Imam Malik bin Anas (lahir tahun 93 Hijriyah) beliau berkata : Sesungguhnya aku adalah manusia biasa boleh jadi aku salah dan boleh jadi aku benar maka fikirkanlah baik-baik pendapatku sesuai dengan kitabullah dan sunnah.(Ibnu Abdil Bar, Kitab Al-jami’ jilid 2 hal 32).
- Imam Syafi-ie (lahir tahun 150 Hijriyah) beliau berkata : Apa saja yang telah berlaku menurut sunnah Rasulullah SAW pada hal bertentangan dengan mazhabku maka tinggalkanlah mazhabku karena sunnah itulah mazhabku yang sebenarnya.(Kitab Tarikh Dimasyq Ibnu Asyakir).
- Imam Ahmad bin hambal (lahir tahun 164 Hijriyah) beliau berkata tentang qunut : Jika aku shalat di belakang imam yang berqunut, maka aku akan mengikuti qunutnya itu, dan aku aminkan doanya, semua ini lantaran demi menyatukan kalimat, melekatkan hati, dan menghilangkan kebencian antara satu dengan yang lainnya.(Syaikh Ibnu ‘Utsaimin,Syarhul Mumti’, 4/25. Mawqi’ Ruh Al Islam).
Penutup
Perbedaan pendapat dalam memahami nash dalil Al-Quran dan Al-hadist perlu disikapi dengan bijak dan hati yang lapang sebagaimana para ulama fuqaha terdahulu sehingga tidak merasa pendapatnya paling benar sendiri dan kemudian sangat mudah untuk menuduh selain pendapatnya dengan tuduhan bid’ah, bathil apalagi hingga berani mengkafirkan sesama mukmin. Sebagai seorang mukmin sejati mari saling mengenal lebih dekat dengan silaturahim kemudian dapat saling memahami, menasehati dan saling mencintai dalam bingkai ukhwah islamiyah. Wallahu a’lam