Selasa , November 12 2024
JalanDakwah.info

Sungguh Terlalu Disayang

Saudara setanah air kita banyak merantau ke negeri jiran ini, baik dengan keahlian professional, akademisi, maupun yang bekerja sebagai pembantu rumah dan buruh pabrik. Semua aktivitas mengais rezeki ditekuni sebagai rangka menjalani takdirNya, ada kalanya ketidak-tahuan atau hal miskomunikasi dapat membuahkan problematika yang tak ringan penyelesaiannya di tanah rantau. Sedikit kisah khusus dari pahlawan devisa kali ini, semoga dapat menjadi cambuk motivasi dan bumbu hikmah serta semangat berbagi buat kita semua.

Dengan melindungi privasi serta menjaga aib saudara kita, maka kisah ini penulis rangkum menggunakan ‘gaya aku’.

***
TAHUN 2015 bagaikan ‘tahun pembebasan’ buatku. Bayangkan saja, sejak delapan tahun yang lalu aku menginjakkan kaki di negeri jiran, aku belum pernah pulang kampung. Bahkan aku tidak paham dimana daerah tempatku bekerja ini, serta aku tak mengerti kenapa perjanjian urusan kerja selalu berubah-ubah. Petugas agensi tenaga kerja mengantarkanku sampai ke rumah majikan, namun sampai bertahun-tahun aku tak pernah bertemu petugas itu lagi.

“Ini kamarmu, bik Nirah…” Ujar majikan di awal kedatanganku. Nyonya kupanggil ‘Puan’, tuan dan puan berusia muda, dan ternyata baru dua tahun menikah.

Rumah mereka cukup besar dengan halaman yang luas. Aku senang karena mereka ramah dan sambutan mereka sangat baik.

Saat itu, puan sedang hamil, dan bersiap cuti dari pekerjaan kantornya. Pekerjaanku cukup banyak, aku bekerja dari awal subuh hingga tengah malam. Setiap hari mereka kedatangan tetamu, baik tetangga atau anggota keluarga besar dan kerabat. Aku juga bertugas memandikan kucingnya, menguras aquarium, mencuci lima mobil, dan seringkali ‘tenagaku dipinjamkan’ kepada sanak saudara tuan atau puan di tempat lain, atau ketika mereka akan ada kenduri.

Alhamdulillah aku bahagia dapat bekerja keras, meskipun aku tidak mengerti kenapa uang gajiku belum juga diberikan setelah beberapa bulan bekerja.

Menurut info dari tuan ketika kuberanikan diri untuk bertanya tentang gajian, “Satu tahun di awal kerja, tidak ada uang cash gajian. Sebab kamu mencicil utan urusan visa kepada kami. Agen yang membawamu sudah kami bayar, itulah gajianmu.” Sesekali aku diberikan uang tips sepuluh atau dua puluh ringgit saja oleh saudara dari tuan atau puan apabila aku telah membantu pekerjaan mereka.

Kebahagiaan sangat terasa dalam rumah majikanku ketika putri mereka lahir. Aku yang bertugas merawat dan menjaga anak ini, karena setelah umurnya tiga bulan, ibunya langsung kembali ke kantor tempat bertugas. Puan biasanya pergi jam Sembilan pagi, pulang ke rumah menjelang magrib. Di kantor Puan menyiapkan ASI perah untuk kemudian diletakkan di lemari es ketika sudah sampai di rumah.

Aku tak menyangka, sang putri cilik begitu rapat dan lengket padaku, sampai-sampai kemudian aku tidak lagi tidur di kamarku pada malam hari, melainkan aku tidur di ruang tidur bayi. Aku bangun tengah malam dan memberikan susunya jika si putri menangis.

Dua tahun setengah pekerjaanku masih berlangsung, kutemui Tuan saat ia kulihat sedang bersantai membaca surat kabar, aku berkata dengan pelan, “Tuan, saya pingin pulang, rindu keluarga…” aku menanyakan gaji dan passportku. Tuan hanya menjawab pendek, waktu itu bulan Februari, dia bilang, “Nanti, tunggu mei…”

Miris hatiku tatkala pada bulan mei kutanyakan lagi, tuan bilang, “Kasian si putri. Tunggulah dulu passportmu, nanti oktober!” Bertambah perih hatiku ketika kucoba menelepon saudara (dipinjami telepon oleh Puan), ternyata ibuku sedang sakit parah.

Aku ingin pulang kampung menengok ibu dan bapak. Aku sangat rindu. Aku memohon pada Tuan dan Puan supaya mengizinkanku pulang, tetapi keduanya acuh tak acuh.

Aku harus tetap rajin bekerja membereskan segala urusan dan pekerjaan dalam rumah mereka. Namun setiap aku menanyakan ‘janji tentang gaji dan kepulanganku’, aku di’pimpong’. Ketika aku bertanya pada Puan, dia bilang, “Nanti kamu tanya pada `tuan!”

Namun ketika kutanya pada Tuan, dia bilang, “Kamu langsung tanya saja kepada Puan!” Sungguh aku malu mengetahui bahwa diriku sungguh penakut saat itu. Apalagi sejak mereka saling melempar tanggung jawab tentangku, Tuan dan Puan makin sering bertengkar meski atas hal yang sepele. Dan aku tidak mengerti bagaimana berurusan dengan pihak-pihak berwenang, apalagi tidak ada kartu identitas resmi yang kupegang.

Tentang Agus Waldiono

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *