Selasa , November 12 2024
JalanDakwah.info

Obat Kecewa, Jeritan Hati TKW di Malaysia

SAUDARA setanah air kita banyak merantau ke negeri jiran ini, baik dengan keahlian professional, akademisi, maupun yang bekerja sebagai pembantu rumah dan buruh pabrik. Semua aktivitas mengais rezeki ditekuni sebagai rangka menjalani takdirNya, ada kalanya ketidak-tahuan atau hal miskomunikasi dapat membuahkan problematika yang tak ringan penyelesaiannya di tanah rantau. Sedikit kisah dalam rubrik khas Ramadhan kali ini, semoga dapat menjadi cambuk motivasi dan bumbu hikmah serta semangat berbagi buat kita semua.

Dengan melindungi privasi serta menjaga aib saudara kita, maka kisah ini penulis rangkum menggunakan ‘gaya aku’.

***
“Saya sudah enam belas tahunan bu’, di Malaysia…” aku mengawali kisah ini. Kalau cerita dari awal, terlalu panjang, yang jelas aku berada disini karena perlu makan. Daerah kami musim kering waktu itu, di dusun ujung Jawa Timur. Lalu era Pak Harto, ada transmigrasi, jadi keluarga besar terpisah-daerah, ada yang ke Kalimantan, ada yang ke Sumatera. Aku mendaftar ikut menjadi TKW, pergi ke kota dengan modal urunan sanak saudara. Sedangkan suami menjadi kuli bangunan di Jakarta.

Ditipu calo, sudah pernah, dipangkas gaji sudah sering, tetapi aku tetap suka bekerja disini. Awal bencana adalahpermit sudah mati, tapi boss diam saja. Lalu mulailah boss bikin ulah dengan tidak memberi upah berbulan-bulan, akhirnya aku kabur… Pekerjaan tidak ada habisnya, tetapi gaji tak dikasih, dari manakah uang buat makan orang tua, satu anakku, dan saudara-saudariku di tanah air? Pikirku waktu itu.

Aku lari ke kantor Polisi, berkilo-kilo meter tak tahu arah, walhamdulillah Polisi yang berjaga itu menampungku di rumahnya. Sudah kuceritakan bahwa passportku di majikan, dan aku tidak digaji. Beliau berjanji akan membantuku.

Aku bekerja dengan teliti di rumahnya, berusaha selalu melayani majikan dengan servis terbaik, cuma satu hal tak tahan disana, kali ini majikanku selalu bertengkar. Entahlah pasal apa, setiap pagi dan malam, mereka berdebat sehingga membuat jantung berdegup kencang.

Suatu hari, sang istri berteriak, dan melemparkan gelas besar ke arah suaminya, prang! Pecahlah gelas, sebelum jatuh membentur lantai, terkena kepalaku sekilas, perihnya… Lalu mereka saling berteriak, tak henti-henti, dan itu terjadi setiap hari, astaghfirulloh! aku jadi ketakutan. Makanya aku kabur lagi setelah empat bulan disana, belum sempat dikasih gaji, tetapi aku punya beberapa puluh ringgit pemberian keponakannya karena kubantu berbenah.

Dan keponakan polisi itu juga mengajariku sholat.

Kukumpulkan keberanian untuk mencari Enjit, teman keturunan India yang dulu mengantarkan makanan ke rumah majikan lama, barangkali Enjit bisa membantuku.

Ternyata Enjit sedang pulang kampung, dan temannya menyuruhku bekerja melayani para pengunjung rumah makannya. Aku menyanggupinya, berapa pun salary tak peduli, yang penting kerja halal. Alhamdulillah seminggu disana, boss kedai memanggilku, lalu memberi beberapa puluh Ringgit. Dia berkata, “Ada kerja lebih cocok buat kamu…” aku gembira sekali.

Boss ternyata memiliki teman di sebuah usaha pasar raya, aku dilatih untuk menjadi kasir. Sebagai cadangan saja. Sementara tugas utama adalah memindahkan barang-barang, membersihkan gudang dan membantu pelanggan dalam berbelanja.

Aku rajin menabung, meskipun minimal satu setengah juta rupiah kukirimkan kepada orang tua supaya dipakai untuk kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolah anakku.

Dua tahunan itu aku akhirnya bisa membuat ‘permit’ dibantu oleh agent. Tetapi masih ada utang seribuan ringgit lagi dalam pembayaran kepada agent.

Didorong rasa ingin cepat melunasi pembayaran dan biaya sekolah anak yang bertambah, aku ditolong teman untuk menambah pekerjaan ‘part-time maid’.

Dan aku tak menyangka saat memiliki sekeping anting-anting dan 700 RM hasil kerja part-time dua bulan, sore itu pengalaman pahit terjadi.

Ada seorang lelaki besar yang merupakan warga lokal sini, dia meneleponku untuk membersihkan appartemennya, sebelum dia pindah ke appartemen yang baru. Mungkin dia mengetahui nomorku dari teman atau dari majikanku lainnya. Waktu itu, aku juga baru menggunakan telepon genggam. Setelah menyepakati jam kerja, aku melanjutkan pekerjaan di pasar raya. Jelang magrib barulah aku menuju ke appartemen lelaki itu.

Ternyata baru tiba di lift depan rumah, orang itu menarikku dengan kasar, leherku sampai lecet terkena kerah baju. Aku yang masih letih sehabis kerja, sungguh terkejut ketika orang itu memaksa untuk membuka baju! Aku pikir, inilah teguran buatku, karena sering keasyikan menerima job, sampai sering lupa sholat lima waktu. Aku berpikir juga, mungkin malam itu adalah malam kematianku. Namun ternyata Allah SWT masih mengizinkanku untuk hidup dan memperbaiki diri.

Alhamdulillah, setelah meraung-raung seraya berkejar-kejaran di dalam ruangan appartemen luas itu, di sudut ruangan aku memohon kepada lelaki itu untuk tidak menggangguku. Posisinya sudah tidak berbusana waktu itu. Dia mengatakan, “Sekaliii saja, aku siapkan bayaran besar…” tetapi aku meronta dan memohon minta dilepaskan.

Dengan izin Allah SWT, setelah aku sudah tidak bisa bersuara lagi, dia lepaskan cengkeramannya sambil berkata, “Keluarkan semua duitmu!”

Sambil melepaskan anting-antingku, ia ambil 700 RM yang kubawa, juga handphone, kemudian menendangku keluar. Aku ketakutan sekali, lalu berlari meuju taksi dan minta tolong pinjaman teman di rumah sewa untuk membayarnya.

Malam itu aku tersungkur bersyukur kepada Allah SWT karena sudah selamat dari peristiwa keji yang tak pernah terbayang olehku.

Malang masih merapat padaku, justru ketika aku bisa mudik dan melihat anak lulus SD, aku amat kecewa, ternyata suamiku sudah menikah lagi. Sakit hatiku, keluarga tidak diberitahukan, acara di sekolah anak pun ia tak datang, apalagi ketika kuketahui ada banyak kiriman uang yang kutransfer ke rekeningnya, ternyata dipergunakan untuk istri barunya. Ya Allah, aku sungguh kecewa dengan ulah suami saat itu.

Kembali lagi ke Kuala Lumpur, kuajak kakak dan iparku sekaligus. Bossku perlu karyawan dan asisten rumah untuk membantunya. Sementara aku menasihati anakku untuk sekolah yang baik dan harus pintar, aku punya target supaya dia bisa sarjana, supaya hidup kami bisa lebih baik.

Alhamdulillah aku berkenalan dengan banyak muslimah Indonesia yang kaya ilmu disini. Aku dibisikkan motivasi untuk melampiaskan kecewa dengan banyak beristighfar.Lebih baik aku memperbaiki diri, dari pada meratapi nasib. Akhirnya suamiku resmi melepaskanku dengan perceraian, dan anak malah memintaku untuk menikah lagi.

Beberapa tahun yang lalu, aku menikah dengan orang Indonesia (duda tanpa anak) yang tinggal di Kuala Lumpur juga, ia berasal dari daerah yang tak terlalu jauh dari tempatku mudik. Kami sama-sama mengurus permit,sama-sama mencicil motor, dan sama-sama menabung tiket mudik setiap dua tahun sekali. Aku merasa sangat bersyukur atas semua pengalaman ini, apalagi sekarang anakku sudah bisa berada di bangku kuliah, semoga cita-cita menjadi guru bahasa Inggris dapat dicapai olehnya, aamiin.

Tentang Agus Waldiono

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *