Selasa , November 12 2024
JalanDakwah.info

ENERGI ISTIGHFAR

Dalam sebuah kesempatan Rasulullah Saw. pernah bersabda, “Man Lazima al-istighfar, ja`ala allahu min kulli hammin farjan, wa min kulli dhayyiqin makhrajan, wa razaqahu min haitsu la yahtasib.” Bila diterjemahkan menjadi, “Sesiapa yang selalu beristigfar (meminta ampun dari Allah), Niscaya Allah akan menjadikan baginya kemudahan bagi setiap kesulitannya, kesenangan bagi setiap kesedihan, dan Allah memberi rezeki tanpa diduga olehnya.” Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah pada bahasan Adab di bab: istigfar, dan oleh Abu Daud di Sunannya pada kitab As-shalat bab: istigfar. Hadis ini berasal dari Ibnu Abbas ra. yang di dalam sanadnya terdapat nama Al Hakam bin Mush`ab. Abu Hatim berpendapat bahwa Al Hakam bin Mush`ab berstatus majhul (tidak dikenal), sementara Ibnu Hibban mengkategorikan hadis ini dalam kumpulan hadis daif (lemah). Meskipun daif, hadis tentang istigfar ini tercatat di kitab para ulama kaliber, seperti di Musnad-nya Imam Ahmad, di Riyadhu ash-Shalihin-nya Imam Nawawi, dan Targhib wa Tarhib-nya Imam Munziri.

Memang hadis yang berderajat daif tidak boleh dijadikan landasan untuk menetapkan sebuah hukum. Hanya hadis-hadis yang berstatus hasan dan sahih-lah yang legal sebagai sandaran dalil. Akan tetapi pembicaraan ulama mengenai kedudukan hadis daif tidak berhenti sebatas itu, sebab meskipun hadis daif tidak boleh dijadikan dalil hukum tetapi jumhur ulama membolehkan mengamalkannya dengan syarat ia termasuk ke dalam bentuk targhib dan tarhib. (baca: Yusuf Al-Qaradhawi, Kaifa Nata`amalu ma`a as-Sunnah an-Nabawiyah, 2000). Kaitannya dengan hadis tentang istigfar di atas, jelas terlihat bahwa bentuk hadis tersebut adalah targhib dan tarhib. Oleh karena itu boleh mengamalkan tunjukan hadis ini dengan tujuan mensugesti diri untuk beramal kebaikan dan menjauhi perbuatan yang buruk. Sekaligus kita hendak menyibak rahasia di balik ungkapan Rasulullah Saw. tersebut, dan mencoba mengungkap kekuatan dahsyat dari energi istigfar.

Istigfar berasal dari kata gha-fa-ra. Ghafara mengandung arti menutupi. Contoh gampangnya, nama Allah: Al-Ghaffar diterjemahkan menjadi Allah Yang Mahamenutupi dosa. (baca: Ibnu Manzhur, Lisanu al-`Arab). Hubungannya dengan kata istigfar, dalam kaidah bahasa Arab imbuhan huruf sin pada sebuah kata dimaksudkan sebagai bentuk permintaan. Maka istigfar bisa dipahami dengan, “meminta kepada Allah Yang Mahapenutup dosa agar menutupi dosa-dosa yang telah dilakukan”. Kenapa harus kepada Allah permintaan itu ditujukan, karena hanya Dia-lah yang berkuasa untuk menutup dan membuka dosa-dosa manusia. Seringkali istigfar juga dimaknai dengan penghapusan dosa. Persepsi tersebut bisa benar adanya, apalagi di beberapa ayat Alquran terdapat penegasan bahwa kebaikan dapat menghapus keburukan.

Itu pemaknaan istigfar bila dikupas dari segi bahasanya, namun jika dihayati dari sisi hubungan vertikal manusia dengan Tuhannya, ternyata istigfar memuat makna yang lebih dalam lagi, yaitu sebagai kunci kesuksesan hidup. Makna kedua ini belum sepenuhnya tergali dan teraplikasi oleh umat Islam, karena kita masih membiasakan diri memahami istigfar hanya sekadar rutinitas tanpa makna, atau tidak menjadikannya hal yang dirutinkan. Yang kalau terjerumus melakukan satu dosa kita beristigfar dengan mengulang-ulang lafal yang mungkin belum dipahami dan dengan proses yang tidak pernah dihayati, atau malah tidak beristigfar. Akan wajar sekali bila istigfar yang kita lakukan tidak mampu menghentikan perbuatan dosa. Malah secara berulang-ulang istigfar dilakukan justeru terhadap dosa yang sama. Itu kan namanya berjalan di tempat. Ah, memang lebih lumayan ketimbang lumpuh.

Istigfar adalah kunci kesuksesan hidup. Filosofi ini bukan hipotesa ringan yang dijajakan sembarangan, tetapi telah dibuktikan keabsahannya oleh realitas. Mengapa bisa sampai ke kesimpulan bahwa istigfar adalah kunci kesuksesan hidup? Pertama: ini merujuk kepada hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra. di atas, “Siapa yang membiasakan beristigfar”. Kalimat “membiasakan” kalau dipahami mendalam adalah sebuah hasil yang dicapai tidak hanya dengan sekali-dua kali kerja saja, melainkan hasil dari kerja yang dilakukan secara berkesinambungan. Bukan kumat-kumatan, hari ini banyak sekali istigfarnya ketika besok satu istigfar pun tidak. Oleh sebab itu “membiasakan” beristigfar butuh akan kesabaran, keikhlasan, dan kesungguhan. Dan, kita menyepakati bahwa ketiga komponen kepribadian ini merupakan ciri khas orang-orang sukses.

Kedua: istigfar dalam tinjauan hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhannya menggambarkan totalitas penyerahan diri dan pengakuan sepenuhnya pihak yang lemah kepada pihak yang Mahakuat. Ketika manusia selaku perwujudan pihak yang lemah di dunia ini merasa tidak lemah lalu tidak lagi sudi bergantung pada Yang Mahakuat, maka telah terjadi pelanggaran hukum berhamba terhadap Allah. Dan, biasanya setiap pelanggaran dimana pun itu selalu saja memiliki konsekuensi. Misalnya Fir`aun, Namruz, Karun, Hitler, dll. sudah menerima konsekuensi atas pelanggaran yang diperbuatnya. Sementara manusia yang menyadari bahwa ia lemah kemudian menyandarkan kelemahannya kepada kekuatan Ilahi, tentu saja akan melahirkan sosok manusia berkekuatan di atas rata-rata kekuatan manusia. (lihat: hadis riwayat Bukhari dari Abu Hurairah ra., Kitab al-Arba`in an-Nawâwiyah, hadis ke-38). Imam Nawawi yang membiasakan istigfar, meskipun usianya hanya 45 tahun bisa melahirkan karya-karya monumental melebihi kadar usianya yang pendek.

Ketiga: menjalani hidup tanpa punya masalah, sepertinya mustahil terjadi sebab hidup adalah akumulasi dari permasalahan. Pernah satu kali saya mencoba bereksperimen dengan berdiam diri tidak melakukan apa pun, karena saya pikir munculnya masalah disebabkan oleh aktivitas. Ternyata, diamnya saya juga tetap merupakan masalah. Akhirnya tidak ada alternatif lain lagi ketika menghadapi masalah kecuali dengan menyelesaikannya. Nah, dalam proses penyelesaian masalah kemampuan tiap orang berbeda-beda, ada yang sembrono, ada yang lamban, ada yang apatis, dan ada yang bijak. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh kematangan rohani dan kedewasaan berpikir.

Mari kita korelasikan dengan istigfar yang merupakan “wasilah ” seorang hamba bertautan dengan Allah. Dengan pembiasaan istigfar akan terjalinlah hubungan manusia (lemah) dengan Allah (Mahakuat). Dimana manusia akan selalu mengadukan permasalahnya kepada Sang Pemberisolusi, maka proses pengaduan tersebut akan menghasilkan jalan keluar brilian. Proses ini bukankah senada sekali dengan konteks hadis Ibnu Abbas ra. di atas. Yang rajin beristigar akan diberikan jalan keluar.
Inilah yang kemudian saya sebut sebagai “energi istigfar”. Sebuah amal yang tampaknya sangat sederhana akan tetapi menyimpan kualitas yang luar biasa. Kalaulah kita mau membiasakan beristigfar, saya yakin permasalahan kompleks yang mendera kita di Masisir, di tanah air akan segera menemukan cara penyelesaiannya yang bijak. Lalu kapankah istigfar menjadi kebiasaan kita? Tampaknya kita memang layak mengelus dada dan melakukan muhasabah jujur demi terwujudnya perbaikan bersama. Wallahu A`lam.

Sumber : ajidedim.wordpress.com

Tentang Tim Jalan Dakwah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *