Selasa , Desember 3 2024
JalanDakwah.info

Cerdaskan Otaknya, Indahkan Akhlaknya!

Suatu hari, seorang guru masuk ke kelas untuk mengajar yang ke sekian kalinya. Mendadak seorang siswa yang terkenal tukang ribut dan ‘nakal’memberikan komentar, ‘Pak, kenapa kita jarang menulis dan belajar?’. ‘Kita sedang ‘belajar’ mempersiapkan diri untuk belajar’, jawab gurunya sambil tersenyum. Siswa itu bertanya lagi, ‘Maksud Bapak kami harus diam dulu, baru belajar’. Gurunya menjawab, “Tidak juga, karena ribut itu bagian dari belajar’. Dengan wajah heran, siswa itu berkomentar, “Pak! lokal ini memang terkenal ribut, jadi Bapak gak usah heran.” “Baiklah kalau begitu, yang mau belajar duduk ke depan, sedangkan yang masih mau bercerita silahkan duduk ke belakang”, ucap guru tersebut. Begitulah selanjutnya Proses pembelajaran berlangsung setiap masuk di kelas itu. Siswanya ‘belajar’ dengan berbagai cara, ada yang lagi makan, ada yang lagi bercerita, dan ada pula yang lari dan jalan ke sana kemari, serta ada juga yang diam dengan wajah ngantuk. Gurunya, lagi-lagi hanya bisa tersenyum simpul melihatnya sambil mengingatkan, alhamdulillah kita sudah selesai belajar hari ini.

Sebulan setelah tanya jawab di atas, siswa yang terkenal ribut dan ‘nakal’ itu, duduk di depan dengan serius mendengarkan gurunya membuka pelajaran. Kira-kira 15 menit kemudian, siswa-siswa lain yang sedang bercerita mulai diam dan mendengarkan pelajaran. Tiba-tiba, seorang siswa berkomentar, ‘Pak! Kami mengalami apa yang Bapak jelaskan.” ‘Maksudnya?”, tanya gurunya. Dengan wajah serius, siswa itu berkata, “Kami memang sering ribut, Pak!. Tetapi, sebenarnya, kami mau belajar dengan serius, hanya saja tidak ada guru yang menghargai kami. Saya misalnya, sering dijelek-jelekkan dan dianggap biang keributan serta bodoh. Selain itu, lokal kami sering dibanding-bandingkan dengan lokal lain yang dianggap kelas unggulan. Dan hal itu menjengkelkan kami, yah! akhirnya kami berperilaku seperti ini”. Mendadak semua siswa berteriak, “Betul pak! Apa yang dikatakannya.”

Jawaban yang diberikan siswa ini mengejutkan kita bahwa adakalanya para orang bersikap bukan berdasarkan wataknya, tetapi berdasarkan suatu penilaian yang tercipta pada diri mereka sendiri. Inilah yang disebut konsep diri (self concept). Konsep diri ini bisa positif, tetapi bisa juga berbentuk negatif. Siswa-siswa pada kelas yang kita ceritakan di atas, telah membentuk ‘konsep diri kolektif’ yang negatif. Mereka menilai diri atau kelas mereka sendiri secara negatif, karena terus menerus di sodori dengan komentar-komentar negatif dari orang sekitarnya. Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa 85 % komentar negatif dilontarkan kepada anak, dan hanya 15 % komentar positif.

Inilah awal terbentuknya citra diri negatif, dan saat itu, belajar menjadi beban bagi anak. Keraguan, kemalasan, dan permusuhan tumbuh dalam dirinya. Pada kondisi kritis, akan terjadilah, apa yang disebut oleh Bobbie DePorter sebagai learning shutdown (kebuntuan belajar), yaitu, anak menghambat pengalaman belajarnya secara terpaksa dan menganggap belajar sebagai momok yang menakutkan. Di sini kita dapat melihat, konsep diri berhubungan erat dengan citra diri (self image) sebagai unsur kognitif dan harga diri (self esteem) sebagai unsur afektif, dan juga tentunya dengan kepercayaan diri (self confidence), bahkan aktualisasi diri (self actualitation) dalam bersikap dan bertingkah laku.

Dengan demikian, konsep diri menjadi penting untuk memacu potensi anak jika dibentuk secara positif. Segala hal yang melingkupi anak, dapat menjadi sarana bagi dirinya dalam membentuk konsep diri. Mulai dari namanya, pakaian, makanan, dan pendidikannya. Itulah sebabnya, Allah swt dan Rasul-Nya, mengingatkan untuk memberi nama, pakaian, makanan, dan pendidikan yang baik bagi anak-anaknya. Pada suatu hari seseorang bertanya kepada Rasulullah saw, “Ya Rasulullah, apakah hak anakku terhadapku?” Nabi menjawab, “Engkau baguskan nama dan pendidikannya; kemudian engkau tempatkan ia di tempat yang baik.” Nama sangat penting bagi anak, karena hal itu bagian dari kehormatan dan citra dirinya. Begitu pula dengan makanan, “Dan Allah menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka yang buruk (keji).” (Q.S. al-A’raf: 157).

Untuk membentuk konsep dirinya, anak melakukan peniruan dan sekaligus berinovasi sendiri, tenggelam dalam imajinasi, atau boleh jadi akan kurang peduli. Kita punya pepatah, “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari.” Makna umum dari pepatah ini adalah bahwa anak belajar dan mencontoh perilaku gurunya, kemudian dengan kreatifitasnya sendiri, anak akan mengembangkan apa yang dicontohkan oleh gurunya tersebut. Itulah sebabnya, mengapa dikatakan bahwa jika guru kencing berdiri, maka murid bukan saja ikut kencing berdiri, tetapi lebih dari itu, murid akan kencing sambil berlari. Dengan demikian, pepatah ini menyadarkan guru, bahwa seluruh kepribadiannya, baik perkataan, sikap, atau tindakannya, senantiasa menjadi perhatian murid. Artinya, proses pembelajaran bukan hanya di dalam kelas saat anak menghabiskan materi yang ada di dalam ‘buku pelajaran’, melainkan di semua tempat dengan materi yang yang ada di ‘buku lingkungan’.

Puluhan tahun lalu, Dorothy Law Nolte, menuliskan bait-bait syair yang sangat menawan dengan judul “Children Learn What They Live” untuk menunjukkan bahwa anak-anak senantiasa belajar dari semua peristiwa yang dialaminya. Inilah puisi yang di tulis Nolte :

CHILDREN LEARN WHAT THEY LIVE

By: Dorothy Law Nolte

If a child lives with criticism, He learns to condemn.

If a child lives with hostility, He learns to fight.

If a child lives with ridicule, He learns to be shy.

If a child lives with shame, He learns to feel guilty.

If a child lives with tolerance, He learns to be patient.

If a child lives with encouragement, He learns to be confident.

If a child lives with praise, He learns to appreciate.

If a child lives with fairness, He learns justice.

If a child lives with security, He learns to have faith.

If a child lives with approval, He learns himself.

If a child lives with acceptance and friendship,

He learns to find love in the world.

ANAK-ANAK BELAJAR DARI KEHIDUPANNYA

Oleh : Dorothy Law Nolte

Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki

Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi

Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri

Jika anak dibesarkan dengan hinaan, ia belajar menyesali diri

Jika anak dibesarkan dengan toleran, ia belajar menahan diri

Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri

Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai

Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakuan, ia belajar keadilan sejati

Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar mempercayai

Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar berbangga diri

Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam hidup ini.

Bait-bait puisi Nolte di atas menyadarkan kita bahwa selain mempercantik bangunan dan ruangan (hard ware), pendidikan juga harus terus mempercantik harmonisasi hubungan antara guru dan murid (soft ware). Karena sekolah bukan hanya bertugas mengisi otak para siswa, tetapi juga menghiasi diri mereka dengan akhlak yang indah dan perilaku yang menawan, seperti pesan Nabi Saw di atas, “baguskan namanya, baguskan pendidikannya”

Sumber : liputanislam.com

Tentang Tim Jalan Dakwah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *