TETAPI bagaimanapun, bapak bukanlah seorang malaikat. Kami pernah berseteru hebat, sampai aku mengunci pintu dan bapak menungguiku berjam-jam. Dan semua kebencianku pada bapak perlahan luruh ketika tertumbukkan pada kenangan-kenangan baiknya. Dan semua kata-kata burukku yang kulontarkan menjadi hal yang paling aku sesalkan dalam hidupku. Jika ada dari kita yang sedang membenci orang tuanya, cobalah kita ingat kenangan bersama. Mungkin hal itubisa membantu kita untuk mengikhlaskan.
Tapi masalahnya iya kalau ada kenangan, kalau tidak? Aku harap ini bisa menjadi pelajaran bagi kita semua. Karena ternyata tidak semua anak mempunyai kenangan bersama bapaknya. Bahkan ada beberapa teman,yang tidak merasakan perubahan yang signifikan ketika bapaknya sudah meninggal. Karena ia tidak punya kenangan sama sekali.
Wajarlah ketika hati ini tergetar waktu mendengar Ust. Nouman Ali membicarakan ini. Beliau mengatakan, “ Kita hidup di zaman yang aneh. Ketika banyak dari kita yang meraih gelar doktor, pakar sejarah, ahli agama tetapi tidak mengerti bagaimana menjadi ayah yang baik. Saya diberi kesempatan oleh Allah untuk mengunjungi ratusan komunitas Muslim dan yang saya menemui masalah yang sama. Kebanyakan kita begitu mementingkan pendidikan untuk dua alasan utama, yaitu karir dan strata social. Tetapi banyak diantara kita melalaikan hal-hal basic untuk memberi waktu pada keluarga.
Ketahuilah para Ayah, ketika anakmu berumur 4, 5, 6, 7 tahun mereka membutuhkanmu. Ketika mereka memanggilmu untuk sekedar memamerkan gambarnya atau mengajak main mobil-mobilan. Tetapi ketika saat itu engkau mengacuhkannya, tunggu saja sewaktu nanti ia besar. Ia akan mengacuhkanmu. Jika kau bertanya tadi bagaimana sekolahnya, bagaimana ini dan itu, dia akan menjawab singkat “Yah begitulah..”
Sontak hatiku membenarkan itu. Sesibuk apapun seorang ayah, setidaknya setap hari ia harus menyisihkan waktu untuk keluarganya. Entah satu jam, 30 menit atau 15 menit untuk membersamai anaknya. Entah main game, main mobil-mobilan atau bercerita sebelum tidur.
Dan kini aku tahu jawabannya, mengapa aku bisa memaafkan Bapak ketika dipuncak kemarahan, Mengapa pendapat dari Bapak begitu aku dengarkan. Karena Bapak telah memberikan sebagian besar hidupnya untukku. Bapak telah memberikan waktunya untukku. Ketulusannya akan hal itu telah menjadi keindahan tersendiri. Termasuklagu pengantar tidur siang semasa aku kecil yang sampai sekarang masih senang aku dengarkan. Izinkan aku memetiknya disini. Satu bait yang melafazkan tentang ketulusan.
“Di bumi yang berputar pasti ada gejolak
Ikuti saja iramanya,isi dengan rasa
Cinta yang kuberi sepenuh hatiku
Entah yang kuterima, aku tak peduli”
(Lirik apakah ada bedanya; Ebiet G Ade).
Terimakasih Bapak atas cinta yang kau beri sepenuh hatimu. Dan entah mengapa. Sampai sekarang aku tidak tahu alasannya, mengapa aku bisa mengatakan cinta ke semua orang, tetapi tidak pada Bapak. Aku hanya bisa memeluknya erat diatas sepeda motornya setiap kali bapak menjemputku diterminal. Oh Tuhan jenis anomali cinta apalagi ini?