SAUDARA setanah air kita banyak merantau ke negeri jiran ini, baik dengan keahlian professional, akademisi, maupun yang bekerja sebagai pembantu rumah dan buruh pabrik. Semua aktivitas mengais rezeki ditekuni sebagai rangka menjalani takdirNya, ada kalanya ketidak-tahuan atau hal miskomunikasi dapat membuahkan problematika yang tak ringan penyelesaiannya di tanah rantau. Sedikit kisah dalam rubrik khas Ramadhan kali ini, semoga dapat menjadi cambuk motivasi dan bumbu hikmah serta semangat berbagi bagi kita semua.
Dengan melindungi privasi serta menjaga aib saudara kita, maka kisah ini penulis rangkum menggunakan ‘gaya aku’.
***
Persisnya beberapa belas tahun yang lalu, aku masih remaja dan keluarga kami memang bukan keluarga yang tercukupi. Kami tinggal di dusun terpencil di Jawa Barat. Alhamdulillah gubuk pemberian paman kami tempati, makanan sepiring kami bagi sebelas, air putih yang kami saring dari sungai, daun-daunan menjadi sumber rezeki untuk dikumpulkan dan diikat serta dijual ke pasar.
Aku tidak mengerti tepatnya kapan, bapak dan ibu berdiskusi tentang utang-utang pamanku, dan pelik sekali, aku dan empat adik berusaha membantu keluarga paman dengan kerja serabutan, meski selalu tak mencukupi, sebab paman memiliki utang besar kepada pengijon. Waktu itu aku lulus SMP, ada teman yang berasal dari kampung sebelah, mengajakku bekerja di Malaysia. Dalam kebingungan yang amat sangat, aku juga terharu melihat adikku rela dinikahkan dengan anak si pengijon (yang sudah memiliki beberapa istri), demi mengurangi beban utang paman.
Singkat cerita, sisa tabungan orang tuaku yang terlipat-lipat di balik tikar, kupergunakan untuk membuat passport dan keperluan transportasinya dipinjami oleh temanku. Dengan memikirkan perbaikan hidup keluarga, aku sungkem kepada orang tua untuk melangkah bekerja ke Malaysia.
Kami beberapa minggu ditampung di sebuah rumah, temanku menyebut kegiatan ini sebagai ‘training’, aku dan belasan wanita di dalamnya bergantian mengerjakan banyak hal, di antaranya mencuci baju-baju (yang entah kenapa begitu banyaknya, kupikir mungkin ini seperti membantu kegiatan jasa laundry), membersihkan banyak barang dapur, mengepel lantai, melipat kertas-kertas, dan lain-lain, termasuk ada yang sibuk membantu menyelesaikan jahitan busana atau mengecat dinding.
Selanjutnya kakiku benar-benar berada di luar negeri, tak banyak yang bisa kukagumi waktu awal datang, karena yang kubayangkan adalah keluarga dan masa depan orang tua serta adik-adikku. Teman menampungku dalam bilik yang disewanya, dan mengantarkanku ke rumah seorang boss pemilik rumah makan, disitulah pertama kali aku bekerja. Aku tidak mengeluh, bekerja keras sudah menjadi makanan sehari-hari sejak aku kecil, kalian bisa membayangkan badanku harus bangun pukul empat pagi, lalu tidur pukul dua malam. Sebulan awal itu, aku membantu pekerjaan rumah di rumah besar dan di restoran sekaligus.
Satu hal yang baru kupahami, ternyata enam bulan awal bekerja, aku hanya diberi pegangan uang 10 RM (1 Ringgit Malaysia kira-kira Rp 3.300 sekarang) tiap bulan karena majikan sudah memberikan gaji kepada temanku, dan itu adalah untuk membayar utang-utang kepadanya. Aku beruntung, makan minum tidak kekurangan di rumah majikanku ini.
Akan tetapi ada hal lain yang baru kuketahui pula waktu itu, ternyata ‘surat izin kerja’ alias permitku tidak ada.
Di pertengahan tahun, tepat setelah aku ditugaskan mengurus kedai makanan milik majikan, sekaligus tinggal di sana, temanku harus mudik karena ayahnya meninggal dunia. Dan kala itu, kutitipkan beberapa hadiah kecil yang diberikan oleh anak majikan kepadaku, yaitu sebuah bantal, beberapa kaos bekas, dan beberapa lembar rupiah (sekitar tiga puluh ribuan rupiah yang tersisa di sakuku selama dalam perjalanan) buat keluargaku.
Majikanku berkata bahwa mereka akan membuatkan permit, namun pembayarannya harus potong gaji. Tak ada pilihan bagiku, lagi pula yang kukenal hanya beberapa pelanggan resto dan dua pembantu rumah lainnya di tempat ini, sehingga aku mengangguk. Nasib baik, sisa gajianku bisa kutabung, dan dua tahun kemudian aku dijadwalkan bisa pulang kampung.
Tapi rencanaku tak berjalan mulus, pembantu rumah boss sudah minta dipulangkan, memang dia sudah tiga tahun bekerja dan orang tuanya sedang sakit keras. Malah karena terketuk akan penderitaan keluarganya yang ternyata lebih pedih dariku, kupinjamkan ia tabungan yang kukumpulkan berbulan-bulan, sekitar dua juta rupiah waktu itu. Alhamdulillah setahunan setelah itu, aku baru mengetahui kalau ia mengembalikan pinjaman dengan pergi ke kampungku, memberikan uang itu kepada keluargaku.
Boss dan keluarganya punya banyak urusan di daerah lain, restonya pun diuruskan oleh anak dan keponakannya. Mereka semua cukup baik, hanya saja seluruh pekerjaan rumah tangga menjadi harus kukerjakan sendiri. Aku sampai pernah pingsan dua kali, mungkin karena terlalu capek.
Pembantu yang satu, tak kembali dari mudiknya, yang satu lagi dibawa boss buat menguruskan tempat lain, dan aku membereskan resto di pagi dan malamnya, sedangkan sepanjang siang berada di rumah besar dengan gundukan pakaian kotor, sesekali mencuci beberapa tas kumal, mencuci mobil sebanyak empat buah, memasak makanan, merapikan banyak ruangan dengan mainan anak-anak majikan, dan mengurus dua ekor kucing mereka.
Di tahun keempat, aku akhirnya bisa pulang kampung, luar biasa tangisan haru bagiku waktu itu. Meskipun aku sempat kecopetan setiba di tanah air, tapi perbekalan tabunganku mencukupi kebutuhan keluarga. Dua bulan di tanah air, aku pergunakan waktu untuk membantu orang tua dalam menggarap sawah tetangga. Sisa utang paman di pengijon masih ada, namun dapat kami lunasi dengan cicilan beberapa bulan lagi.
Aku termasuk beruntung, majikan mengantarkan dan menjemputku kembali di bandara. Lalu tahun berikutnya aku tak susah berhubungan dengan keluarga, orang tua dan aku bisa sms-an, kami membeli handphone sederhana, boss-ku menolong untuk mengisikan pulsa jika masa berlaku kartunya habis.
Kata anak dari majikanku, “Bik, tau tak kenapa bibik jaga rumah ni dan banyak lagi kerja bibik, bukan diajak ke luar kota atau ke resto seharian seperti dulu?”
Aku tak tahu… dan menggeleng.
Dia melanjutkan, “Sebab bibik tuh rajin dan cerdas, kami sayangkan bibik, saya suka masakan bibik…” sungguh aku terharu. Yang tadinya pening sekeluarga karena jeratan utang, ternyata aku bisa belajar tentang hidup dengan merantau begini, apalagi aku baru mengetahui bahwa beberapa kabar teman yang berbarengan berangkatnya waktu dulu, ternyata ada yang sakit kanker dan meninggal—tanpa diurusi oleh majikannya, ada juga yang menjadi stress karena diperkosa. Sementara aku bertambah banyak pekerjaan di istana boss ini, ternyata karena disayangi. Alhamdulillah.