Mereka itu adalah saudara-saudaraku dan mereka bersama denganku. Beruntunglah mereka yang melihatku dan beriman kepadaku dan beruntung juga mereka yang beriman kepadaku sedangkan mereka tidak pernah melihatku.”
Subhanallah, pembaca yang dimuliakan Allah Swt, kitakah orang-orang yang disebut Rasulullah Saw sebagai saudara-saudaranya dan yang dirindukannya itu? Layakkah kita berharap dirindukannya padahal kita sendiri tidak merindukannya kecuali kerinduan formalitas dan ala kadarnya (ala kobernya).
Pantaskah kita dirindukannya, sedang kita lebih memilih diam tak berdaya ketika Rasulullah Saw dihina, dikarikaturkan, tuntunannya diabaikan (dipakai sekedar untuk ritual keagamaan, dicampakkan dalam kehidupan sosial masyarakat dan bernegara), padahal sesungguhnya kita diberi kesehatan dan kecerdasan sehingga mampu bergerak dan membedakan mana yang mengajak kebaikan mana menjerumuskan pada kesesatan. Kita lebih mendukung pendapat orang-orang sombong yang berkata Ayat-ayat Konstitusi harus berada di atas Ayat-ayat Suci, sebaliknya kita justru membenci orang-orang yang berani melakukan amar makruf nahi mungkar.
Kita malah apriori terhadap orang-orang yang ingin mengungkapkan kerinduannya pada Rasulullah Saw sesuai dengan apa-apa yang memang diperintahkan dan dilarang olehnya. Bila Rasulullah Saw melarang miras/narkoba/korupsi/prostitusi/dll, bukankah kita seharusnya juga berada dibarisan yang berjuang untuk memberantas itu semua.
Bila Rasulullah Saw mensunnahkan agar mensyiarkan dan memperbanyak takbir menjelang hari raya, bukankah tidak pantas bila ada pejabat muslim lagi, melarangnya. Ketika Rasulullah Saw mentauladankan untuk bersikap lemah lembut dan kasih sayang tanpa anarkis dan kekerasan, maka kita pun harus demikian.
Sebaliknya, bila Rasulullah Saw mencontohkan untuk bersikap keras, tegas, tanpa kompromi, gunakan segala kekuatan fisik, tenaga dan pikiran, maka jangan lagi ada alasan untuk tidak melakukannya. Ini akan menjadi bukti bahwa rindu ini tak sebatas rindu di hati, namun harus menjadi full-energy di seluruh ujung jari tangan dan kaki.
Saudaraku, inilah model kerinduan yang ditauladankan dan harus menjadi prototype kualitas kerinduan umat Islam di akhir zaman. Rindu yang tak sebatas formalitas/ritualitas/seremoni peringatan hari-hari besar Islam. Akan tetapi, rindu ini rindu yang membekas tanpa batas ruang dan waktu. Karena di lain hadits, kelak ketika seluruh umat manusia ini dibangkitkan dari tidurnya, termasuk juga Rasulullah Saw, maka lihatlah dengan hati dan akal sehatmu bahwa orang yang pertama kali dicari-cari dan ditanyakan Rasulullah Saw kepada malaikat bukanlah istri tercintanya Khadijah, atau putrinya Fatimah, tapi justru kita (saya, Anda dan seluruh umatnya). Subhanallah, ternyata kita amat sangat dirindukannya. Adakah rindu kita seperti itu?