Rabu , Desember 4 2024
JalanDakwah.info

Penyesalan

Saudara setanah air kita banyak merantau ke negeri jiran ini, baik dengan keahlian professional, akademisi, maupun yang bekerja sebagai pembantu rumah dan buruh pabrik. Semua aktivitas mengais rezeki ditekuni sebagai rangka menjalani takdirNya, ada kalanya ketidak-tahuan atau hal miskomunikasi dapat membuahkan problematika yang tak ringan penyelesaiannya di tanah rantau.

Sedikit kisah khusus dari pahlawan devisa kali ini, semoga dapat menjadi cambuk motivasi dan bumbu hikmah serta semangat berbagi buat kita semua.

Dengan melindungi privasi serta menjaga aib saudara kita, maka kisah ini penulis rangkum menggunakan ‘gaya aku’.

***
Tak pernah merantau tetapi memberanikan diri ke Jakarta, dibawa oleh seorang bibi tetangga, itulah aku. Aku masih berusia lima belas tahun, dan keluargaku jauh dari kehidupan berkecukupan. Sebagai anak sulung, aku disemangati oleh orang tua untuk membawa perubahan buat pendidikan adik-adikku.

Kuakui bahwa aku benar-benar tak tahu ilmu dalam urusan kerja rumah tangga, apalagi dengan teknologi modern sekarang ini. Sungguh baik hati Bu Aminah, majikanku di Jakarta, beliau memberikan pelatihan setiap menit karena aku memang tak tahu apa-apa mengenai peralatan rumah tangga. Aku sempat merusakkan colokan vacuum cleaner, kabel rice cooker, macetnya mesin cuci, di hari-hari awal bekerja, karena aku bingung sekali.

Sungguh alat-alat modern itu memang baru pertama kali kulihat. Astaghfirrulloh, semoga Allah swt mengampuni kebodohanku.

Ternyata bu Aminah memang mempersiapkanku untuk membantu anaknya yang bekerja di negeri jiran. Lima bulan bekerja dan dilatihnya di Jakarta, aku sudah bisa rutin mengirimi hasil kerja kepada orang tua di kampung. Sebab ada kemudahan lainnya pula, sebulan sekali, sopir truk barang langganan bu Aminah yang mengambil titipanku buat keluarga di kampung, rute truknya selalu melewati kampungku.

Bu Aminah menjelaskan kepadaku bahwa aku akan diajak ke Malaysia, dan itu sudah atas izin orang tuaku, semua urusan passport dan visa dibantu oleh bu Aminah, hingga aku ikut bersamanya mengunjungi anaknya di Malaysia beberapa bulan kemudian.

Aku kira Jakarta sudah megah, ternyata bangunan di Malaysia jauh lebih megah lagi. Aku juga terkejut melihat apartemen mewah tempat tinggal anak beliau, semua kuncinya adalah kartu magnet otomatis. Anak kampung sepertiku belum pernah melihat tempat sekeren ini. Sampai-sampai aku berjingkrak kesenangan memainkan mesin pengering baju, kursi ‘naik-turun’, dan perabot modern lainnya disini.

Seminggu pertama di Malaysia, bu Aminah kembali sibuk mengajariku, tentang bagaimana tugas-tugas di dapur, berkemas ruangan tidur, ruang tamu, dan lain sebagainya. Seharian rumah itu kosong, sebab anak beliau mengajar, cucu beliau masih kecil, sekolah dari pagi sampai sore sampai dijemput kembali oleh ibunya. Sementara ayah mereka (menantu bu Aminah) sering bertugas ke luar negara.

Minggu kedua dan ketiga aku diajak ke tempat berbelanja yang tak jauh dari rumahnya, diajarkan membeli beberapa barang, juga dibawa untuk pemeriksaan kesehatan dan urusan dokumen yang katanya akan diberi izin dua tahun bekerja. Alhamdulillah semuanya berjalan lancar.

Bu Aminah kembali ke Jakarta, setelah tiga minggu di sini. Aku sudah bisa bercanda dengan cucunya dan gembira melayani mereka. Pada hari senin sampai jumat, aku biasanya ditinggal sendiri di rumah, namun aku tidak bosan, sebab ada hiburan televisi, serta aku sudah bisa berbelanja sendirian kalau ditugaskan oleh ibu.

Kadang-kadang ibu dan bapak punya acara dengan teman-temannya, aku pun diajak serta, bahkan ke restoran yang makanannya enak-enak, ataupun menonton ke bioskop barengan. Teman-teman ibu senang denganku, meskipun pendiam, aku dikenal ringan tangan dalam membantu mereka di setiap acara apa pun. Cuma memang bapak dan ibu sangat sibuk, kegiatan mereka padat. Kalau mereka berkumpul di rumah biasanya ke kolam renang atau kafe di dekat rumah sambil berdiskusi, anak-anak di rumah bersamaku.

Ada sebuah kesalahan besar telah kulakukan, aku sangat malu, sampai sekarang tak berani lagi kutatap bu Aminah yang sangat baik hati itu. Aku pun memang tak mengerti bahasa ‘minta maaf’ yang santun sebagaimana orang-orang pintar seperti mereka. Kuharapkan para pembaca tidak meniru kesilapan yang pernah kuperbuat ini.

Tentang Agus Waldiono

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *