ADALAH sebuah kebahagiaan bagi seorang manusia, ketika ia mampu mencapai kondisi kehidupan yang mapan. Penghasilan besar, pekerjaan jelas. Rumah megah nan nyaman, serta berlimpahnya fasilitas mewah lainnya yang dimiliki. Dan itu semua diraih dengan dorongan tersembunyi dari do’a-do’a ibu, yang dilantunkan disetiap masa tanpa kita ketahui.
Kebahagiaan itu semakin sempurna, dengan kehadiran seorang pendamping hidup. Istri yang cantik jelita. Kembang kehidupan bagi seorang laki-laki. Apalagi wanita itu, sebelumnya jadi pesona—idaman—laki-laki lainnya saking kecantikannya tiada bandingannya.
Setelah menikah, laki-laki itu menempati sebuah rumah bersama dengan istri serta ibunya. Ibu laki-laki itu tak punya siapa-siapa, kecuali anak laki-lakinya semata wayang.
Namun seiring kehidupannya yang penuh kebahagiaan, sang istri justru tak menikmatinya. Ia bermasalah dengan mertuanya, ibu dari laki-laki yang kini jadi pemimpin kehidupannya.
Dari hal remeh temeh, hingga soal yang agak besar, selalu diperdebatkan kedua orang itu. Namun sang lelaki menunjukan sikapnya, dengan menengahi, bersabar dan terus menasihati istrinya.
Suatu ketika sang ibu menderita sakit, kritis. Saat diperiksa, sang ibu divonis menderita gangguan jiwa—alias gila. Ya, ibu lelaki hebat itu kurang waras. Alhasil si istri kelabakan, ia tak mau berkompromi dengan kondisi tak menyenangkan.
Dengan kondisi seperti itu, sang istri sangat jumawa. Ia besar kepala, sombong tak karuan. Hingga ia berani berkata sedemikian rupa pada suaminya.