Assalamualaikum…
Ust. Mengenai berita yg beredar terhadap pemerintahan sekarang, utusan mahasiswa dari berbagai daerah sudah melakukan musyawarah. Yg isinya menyerukan semua mahasiswa se-Indonesia untuk turun kejalan, untuk menyuarakan inspirasi rakyat yg semakin tertindas akibat kebikajan pemetintah yg terlihat tidak pro rakyat dan melempar tanggung jawab.
Selain itu juga, akan ada penyeruan reformasi jilid 2. Entah itu waktu itu juga atau menunggu proses dari pemerintah.
Pertanyaannya, bagaimana kalau memang reformasi jilid 2 ini benar2 berlangsung/terjadi?
Dan bagaimana saya selaku mahasiswa untuk menanggapinya?
Dari Hendra – Tasikmalaya
Wa ‘alaikumsalam Wr.wb, Akhi Hendra yg dirahmati Allah SWT. Situasi & kondisi ekonomi masyarakat hari ini memang sedang tak menentu. Artinya daya beli masyarakat sangat lemah & pengangguran meningkat shg jumlah kemiskinan terus bertambah. Apalagi pemerintahan Jokowi-Jk per awal January kemaren menaikkan harga BBM & tarif dasar listrik (TDL).
Mahasiswa sbg kaum intelektual & agen perubahan masyarakat ikut andil utk peduli mengatasi problematika bangsa shg mrk mengikuti jejak generasi mrk terdahulu di Indonesia ada angkatan 66, angkatan 78 & angkatan gerakan reformasi 98. Alhamdulillah saya termasuk aktivis kampus era 98.
Apa yg direncanakan oleh gerakan mahasiswa se-Indonesia utk melakukan aksi demonstrasi reformasi jilid ke-2 utk mengoreksi penguasa menurut saya adl bagian dari aktivitas amar ma’ruf & nahyi mungkar.
Terkait dgn masyiroh atau unjuk rasa damai hanyalah uslub atau teknik atau cara dlm menyampaikan pendapat atau menyadarkn masyarakat utk membentuk opini publik menegakkan yg ma’ruf & mencegah yg mungkar.
Unjuk rasa berbeda dgn Demonstrasi sebab demonstrasi cenderung anarki & menimbulkan kedzoliman bagi masyarakat luas.
Bila fakta hukum antara unjuk rasa dgn demonstrasi berbeda maka kesimpulan hukumnya berbeda. Sementara kaidah ushul fiqh menyatakan, Al-ashlu filaf’ali taquyyudu bilhukmi syaar’i yaitu hukum asal perbuatan manusia terikat dgn hukum syara’.
Hukum asal berbicara ditempat umum utk mengoreksi penguasa yg dzalim tanpa ada bermaksud mendzalimi apalagi menimbulkan pertumpahan darah ditengah2 masyarakat adl mubah.
Salah satu bentuk aktivitas politik Islam adl melakukan koreksi thp kebijakan penguasa ketika menyimpang dari prinsip2 ajaran Islam. Aktivitas ini dpt dilakukan oleh individu, jama’ah maupun lembaga representatif ummat (majelis ummat). Aktivitas mengoreksi penguasa bagian dari aktivitas menyerukan yg ma’ruf & mencegah dari yg mungkar. Rasulullah SAW bersabda,
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ .( رواه مسلم)
Artinya :“Barangsiapa diantara kamu yg melihat kemungkaran maka hendaklah ia mengubahnya dgn tangannya, jika ia tdk mampu maka dgn lidahnya, jika tdk mampu maka dgn hatinya & itulah selemah2 iman “(HR.Muslim).
Hukum mengoreksi penguasa (muhasabah li alhukkam) adl fardhu atas kaum muslimin. Benar, seorang penguasa wajib ditaati walaupun mrk melakukan kedzaliman & memangsa hak2 rakyat. Akan tp taat kpd penguasa lalim bukan berarti meniadakan kewajiban melakukan koreksi atas diri mrk atau berdiam diri thp kemungkaran mrk.(Ref : Panduan lurus memahami Khilafah Islamiyyah menurut kitab kuning).
Mengoreksi Penguasa Bukan Ghibah.
Mengkritik penguasa di muka umum hukumnya boleh & tdk termasuk ghibah yg dilarang dlm Islam. Dalilnya ada dua yaitu :
1. Dalil2 mutlak mengenai kritik kpd penguasa bagian dari aktivitas amar ma’ruf & nahyi mungkar sprti hadist :
أَفْضَلُ الْجِهَادِ، كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
Artinya : ”Seutama2 jihad adl menyampaikan kalimat yg adil (haq) kpd penguasa (sulthan) yg zhalim.” (HR. Abu Dawud no.4.346).
Dalil ini mutlak, yakni tanpa menyebut batasan tertentu mengenai cara mengkritik penguasa, apakah secara terbuka atau tertutup. Maka boleh hukumnya mengkritik penguasa secara terbuka, berdasarkan kemutlakan dalil tsb sesuai dgn kaidah ushul fiqh :
العطلق يجري على عطلق مالم يرد الدليل يدل على التقيد
Artinya : Dalil mutlak tetap dalam kemutlakannya, selama tidak ada dalil yang menunjukkan batasan/syarat). (Ref : M. Abdullah Al Mas’ari, kitabMuhasabah Al-Hukkam, hlm. 60).
Bolehnya mengkritik secara terbuka jg diperkuat dgn praktik para shahabat Nabi Muhammad SAW yg sering mengkritik para Khalifah secara terbuka. Diriwayatkan dari ‘Ikrimah r.a, Khalifah Ali bin Abi Thalibr.a tlh membakar kaum zindiq. Berita ini sampai kpd Ibnu Abbas r.a, maka berkatalah Ibnu Abbas r.a :
لو كنت أنا لم أحرقهم، لنهي رسول الله صلى الله عليه وسلم: لا تعذِّبوا بعذاب الله. ولقتلتهم، لقول رسول الله صلى الله عليه وسلم: من بدَّل دينه فاقتلوه
Artinya : ”Kalau aku, niscaya tdk akan membakar mereka krn Nabi SAW tlh bersabda, Janganlah kamu menyiksa dgn siksaan Allah (api) & niscaya aku akan membunuh mereka krn sabda Nabi SAW, Barangsiapa mengganti agamanya, maka bunuhlah dia.” (HR. Bukhari no. 6.524). Hadits ini jelas menunjukkan Ibnu Abbas tlh mengkritik Khalifah Ali bin Abi Thalib r.a secara terbuka di muka umum. (Ziyad Ghazzal, Masyru’ Qanun Wasa’il Al I’lam fi Al Daulah Al Islamiyah, hlm.25).
2. Adanya dalil2 bhw mengkritik penguasa yg zhalim tidaklah termasuk ghibah yg diharamkan dlm Islam. Imam Nawawi rahimahullahu didalam kitab Riyadhus Shalihin tlh menjelaskan banyak hadits Nabi SAW yg membolehkan ghibah2 tertentu sbg perkecualian dari hukum asal ghibah (haram).
Misalnya, hadits dari ‘A’isyah radhiyallahu ‘anha :
عن عائشة رضي الله عنها أن رجلاً استأذن على النبي صلى الله عليه وسلم، فلما رآه قال: (بئس أخو العشيرة، وبئس ابن العشيرة)
Artinya : “Seorang laki2 minta izin (untuk bertemu) Nabi SAW, kemudian Nabi SAW bersabda, Dia adl saudara yg paling jahat bagi keluarganya atau anak yg paling jahat di tengah2 keluarganya.”(HR. Bukhari no 5.685 & Muslim no.2.591).
Hadits ini menunjukkan Nabi SAW telah melakukan ghibah, yaitu menyebut seseorang di hadapan umum lantaran kejahatan orang itu.
Berdasarkan dalil2 semacam ini, para ulama tlh menjelaskan bhw ghibah di hadapan umum kpd orang yg jahat, termasuk jg penguasa yang zalim, hukumnya boleh. Imam Ibnu Abi Dunya rahimahullahu meriwayatkan pendapat Ibrahim An Nakha`i (seorang tabi’in) yg berkata :
ثلاث لا يعدونه من الغيبة : الامام الجائر والمبتدع والفاسق المجاهر بفسقه
Artinya : Ada tiga perkara yg tdk dianggap ghibah oleh mereka (para shahabat), yaitu; imam yg zalim, orang yang berbuat bid’ah & orang fasik yg terang2 an dgn perbuatan fasiknya.
Imam Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu berkata :
ثلاث ليس لهم غيبة : صاحبهوىوالفاسق المعلن بالفسق والامام الجائر
Artinya : Ada tiga orang yg boleh ghibah padanya, yaitu; orang yg mengikuti hawa nafsu, orang fasik yg terang2 an dgn kefasikannya & imam yg zhalim.” (Ibnu Abi Dunya, kitab Al-Shumtu wa Adabul Lisan, hlm. 337 & 343).
Memang ada ulama yg mengharamkan mengkritik pemimpin secara terbuka berdasar hadits Iyadh bin Ghanam, bhw Nabi SAW berkata
من أراد أن ينصح لسلطان بأمر فلا يبد له علانية ولكن ليأخذ بيده فيخلو به فإن قبل منه فذاك وإلا كان قد أدى الذي عليه له
Artinya : ”Barangsiapa hendak menasehati penguasa akan suatu perkara, janganlah dia menampakkan perkara itu secara terang2 an tp peganglah tangan penguasa itu & pergilah berduaan dengannya. Jika dia menerima nasehatnya, itu baik, kalau tdk, orang itu tlh menunaikan kewajibannya pd penguasa itu.” (HR.Ahmad, Al Musnad, Juz III no. 15369).
Namun hadits ini dha’if shg tdk boleh dijadikan hujjah krn 2 alasan : 1. Sanadnya terputus (inqitha’) & 2. Ada periwayat hadits yg lemah, yaitu Muhammad bin Ismail bin ‘Iyasy. (M. Abdullah Al Mas’ari, Muhasabah Al Hukkam, hlm. 41-43).
Wallahu a’lam