SORE itu pertengahan Ramadhan Aku duduk di teras bersama Ibu.
“Fi, kata Bu Rina, dia sering lihat kamu ngantuk kalau lagi ikut tarawih di Masjid, emang iya? Terus kemarin itu kamu Ibu ajak ngobrol malah merem.”
“Iya nih Bu, ahir-ahir ini aku ngantuuuk melulu. Kenapa ya?”
“Jangan-jangan kamu sama kaya Ibu, kena diabetes?”
“Ah mudah-madahan enggak lah Bu.”
“Iya, mudah-madahan enggak, tapi besok sore ikut ibu, ya. Cek gula darah.”
“Iya deh bu.”
Esok sorenya Aku, Ibu dan Desy Adikku pergi ke Apotik untuk cek gula darah.
“Ibu Aisah, ini gula darahnya 320 ya Bu, tinggi loh bu.” kata mbak petugas Apotik.
Sedih aku dengarnya,
“Bu, kok tinggi gula darahnya?”
Belum sempat aku menanyakan pada Ibu, memang seharian makan apa saja. Mbak Apotik keburu memotong pembicaraan.
“Nah kalau Mbaknya 115, normal ya.”
“Alhamdulillah, Fiii, Ibu dah kawatiir.”
“Nah terus itu ibu gula darahnya …?”
Belum selesai aku bicara, ibu langsung memelukku sambil menciumiku gembira sekali, dan kata Adiku Desy.
“Eet dah, di jalanan ini, Bu, ih Embak enak banget di ciumin ibu sampai kaya begitu, aku aja ngga pernah sampai segitunya, udah-udah bubar malu diliatin orang, ayo kita pulang!”
* * *
Begitulah Ibuku, ia tidak pernah memikirkan dirinya sendiri meski kini ia sudah menua dan terkena Diabetes. Yang dipikirannya cuma anak-anaknya. Ibuku tipe wanita pekerja keras demi kelima anaknya, tiap pagi pukul 05:15 WIB Ia sudah berangkat bekerja menuju Ibukota.
Ibuku Ia yang mengandungku melewati batas normal lebih dari sepuluh bulan. Yang melahirkanku sungsang tanpa sesar. Menahanku untuk tak dulu keluar padahal sudah di mulut rahim demi memberi kesempatan dr agar bisa mengatur posisiku agar aku lahir selamat tanpa cacat. Tak terbayang sakitnya. Ia yang tetap memberiku ASI meski bekerja.
Ia yang setia membelikanku baju-baju cantik meski aku tak meminta, bahkan juga membelikan baju untuk anak-anakku cucu-cucunya. Ia yang setia menungguku di depan gang karena aku kuliah malam.
Ia …., sahabat berlembar-lembarpun kutulis rasanya tak akan cukup.