SETIAP manusia berakal, apapun agama dan latar belakangnya pasti sepakat bahwa aturan itu diperlukan. Terlepas dari mana sumber aturan, aturan dibuat untuk mengatur segala sesuatu. Dan jika ada aturan maka pasti ada sanksi bagi pelanggarnya. Jika tidak ada sanksi, aturan ibarat macan ompong, tidak menakutkan, tidak mungkin bisa memaksa orang untuk menerapkan. Dalam berkendara ada aturan lalu lintas, jika melanggar maka akan mendapat sanksi. Di sekolah ada aturan, jika melanggar ada sanksi, dalam UU ada pasal-pasal ketentuan dan juga pasti ada pasal yang mengatur sanksi. Begitulah, ada aturan pasti ada sanksi.
Islam sebagai agama sempurna sekaligus sebagai ideologi juga telah menentukan aturan kehidupan manusia. Aturan terkait dirinya sendiri semisal makanan, akhlak, pakaian. Aturan terkait dengan hubungan sesama manusia, misalnya aturan di bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, sosial kemasyarakatan, peradilan. Dan aturan yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, misalnya ibadah dan akidah. Islam mempunyai sistem aturan yang lengkap dan sekaligus mempunyai seperangkat sistem sanksi.
Memang tidak semua pelanggaran ditetapkan sanksinya, sanksi hanya diberikan pada kemaksiatan yang terkait dengan perbuatan wajib dan haram saja. Meninggalkan kewajiban dan melaksanakan keharaman akan mendapat sanksi, sedangkan meninggalkan perbuatan sunah, melaksanakan perbuatan makruh tidak mendapat sanksi. Sanksi juga ditetapkan atas pelanggaran aturan yang telah ditetapkan negara, namun bukan sembarang negara, akan tetapi negara Khilafah yang menjadikan akidah Islam sebagai pondasi.
Jenis sanksi pun sudah ditetapkan, yaitu hudud, jinayat, ta’zir, dan mukhalafat. Hudud adalah sanksi atas kemaksiatan yang telah ditetapkan jenisnya oleh Allah SWT, di antaranya untuk kasus zina, liwath (homoseksual), pencurian, pembegalan, dan murtad. Allah SWT menetapkan larangan atas perbuatan-perbuatan tersebut sekaligus menentukan jenis hukumannya. Jinayat adalah sanksi untuk kasus penganiayaan dan serangan terhadap badan. Misalnya pembunuhan, penyerangan atas tubuh manusia.
Ta’zir adalah pelanggaran terhadap apa-apa yang telah ditentukan Allah namun tidak ditetapkan jenis sanksinya dan tidak termasuk dalam perkara hudud dan jinayat. Contoh perkara yang masuk kriteria ta’zir adalah perbuatan mendekati zina, meninggalkan salat, gangguan keamanan, melanggar kehormatan. Ta’zir ditetapkan secara ijtihad dan dilegalisasikan kepala negara. Sedangkan mukhalafat adalah sanksi atas pelanggaran yang tidak termasuk pada hudud, jinayat dan ta’zir. Mukhalafat semata kewenangan penguasa. Namun penguasa tetap dibatasi hukum syara’, kewenangan penguasa tidak boleh menghalalkan yang haram, dan sebaliknya. Tidak boleh juga mewajibkan perbuatan yang mubah dan sunah dan seterusnya. Penguasa tetap menjadikan hukum syara’ sebagai standar.
Contoh perkara yang menjadi kewenangan penguasa adalah pengelolaan baitul mal, pengaturan tata ruang, penetapan aturan administrasi kependudukan, ketertiban lalu lintas dan lain sebagainya. Jadi, Islam adalah agama yang lengkap, memberikan perintah dan larangan sekaligus menetapkan sanksi bagi pelanggarnya. Maka, Islam pun juga akan menetapkan apa saja yang diperlukan dalam rangka terlaksananya semua aturan dan menegakkan sanksi bagi setiap pelanggar.
Jadi, aturan dalam Islam dilaksanakan semata sebagai ketaatan kepada Allah SWT Sang Pencipta dan Pengatur segala urusan. Bukan demi menuruti hawa nafsu, bukan dipilih yang disuakai ditinggalkan yang dibenci. Pelaksanaan aturan dan sanksi juga bukan karena kebebasan memilih dan dibenturkan dengan toleransi yang diopinikan Barat, yang mengidentikkan ketaatan dengan pemaksaan dan pemberian sanksi sebagai wujud tidak toleransi dengan perbedaan serta bagian dari pelanggaran hak asasi manusia. Bukan, itu semua lahir dari pemikiran yang salah. Manusia membutuhkan aturan dari AlKhaliq, manusia membutuhkan kontrol dalam setiap perbuatannya, itu semua dilakukan agar manusia tidak hidup dalam kekacauan. Pengambilan aturan yang diserahkan pada hawa nafsu manusia hanya akan membuat kerusakan di muka bumi, karena manusia adalah makhluk yang terbatas.
Namun saat ini, dimana sistem kapitalisme mencengkeram negeri muslim ini, pemikiran sekular merasuki benak kaum muslimin. Kebebasan diagungkan, syariat diabaikan dan dijadikan bahan ejekan. Tidak berpuasa tanpa udzur syar’i dianggap sebagai kebebasan, toleransi terhadap pelanggaran dianggap sebagai sikap mulia, keinginan untuk berpegang teguh pada ketentuan syariat dianggap sebagai bentuk pemaksaan. Dalam sistem kapitalisme ini apa yang dilarang dan diperintahkan Allah dan Rasulullah bebas dipilih, bebas dilanggar, bebas diabaikan, tidak boleh dipaksakan dan bebas dicampakkan. Dan ini memang sudah menjadi konsekuensi dari penerapan sistem kapitalisme, memisahkan aturan agama dengan kehidupan.
Jadi tidak mengherankan jika baru-baru ini, masyarakat dihebohkan dengan razia warung makanan. Terlepas dari cara yang kurang tepat, imbasnya melebar pada semakin kuatnya arus opini liberal. Desakan mencabut perda berbau syariah semakin menguat. Dan lagi-lagi ini wajar terjadi selama negeri ini berpijak pada sistem kapitalisme yang dijaga demokrasi, negeri ini akan terus menginjak syariat selama tidak mengambil sistem Islam secara total.
Maka menjadi sebuah keharusan, menyadarkan umat bahwa kapitalisme dan demokrasi adalah biang keladi tumbuh suburnya pemikiran dan perilaku rusak, sesuka hati mencampakkan aturan ilahi. Menyadarkan bahwa umat Islam seharusnya hidup dalam sistem Islam bukan sistem kufur dan batil.
Karena tidak mungkin hukum Islam tegak, diterapkan dan menjadi rahmatan lil’alamin selama sistem yang diambil adalah kapitalisme. Syariah hanya bisa diterapkan secara kaffah dalam sistem Islam. Islam akan benar-benar menjadi rahmatan lil’alamin, menyelamatkan kehidupan manusia di dunia dan akhirat. Wallahu a’lam.