PEMUDA itu menyimpan debar di hatinya rapat-rapat. Tak seorang pun boleh tahu, cintanya telah tertambat. Pada gadis salehah, sederhana, penyayang, nan berbakti pada ayah ibunya. Ia tahu, gadis pujaannya bukan sembarang wanita. Sedang ia hanya pemuda biasa. Maka ia memilih diam, menunggu saat yang tepat.
Tetapi mendung tetiba menggelayut. Dua lelaki mulia dan hebat mendahuluinya. Ia berkabung. Hanya iman di dada yang membuatnya rela. Bahwa takdir tetap akan berjalan seperti kehendakNya.
Seperti itulah adanya. Ia menyerahkan segalanya. Dan awan pun tersapu angin ketika lelaki mulia dan hebat itu kembali. Sendiri. Bukan mereka berdua yang dipilih sang ayah untuk mendampingi sang putri.
Majulah kau anak muda. Ini kesempatanmu memenangkan cinta. Maka melangkahlah ia, dengan malu-ragunya. Hatinya seketika lega, sang ayah menyambut dengan senyum nan menawan. Ahlan wa sahlan. Pemuda itu mendapatkan. Cinta yang dipendam berbilang waktu, menemukan tempat berlabuh yang dirindu.
Tetapi ujian belum berlalu. Malam itu sang kekasih mengaku. “Maafkan aku, sebelum ini aku telah mencintai seseorang”. Oh, pemuda yang tengah dilanda asmara itu seperti tertimpa batu.
“Kalau begitu, mengapa engkau mau menikah denganku? Siapakah orang itu?”
Dengan menunduk malu, dijawabnya pertanyaan itu. “Lelaki itu adalah kamu.”