Rabu , Desember 4 2024
JalanDakwah.info

Anomali Cinta Bapak (1)

SEANDAINYA Bapak tahu hal yang paling aku sesalkan dalam hidupku adalah ketika aku pernah menghentikan detik-detik untuk mencintainya. Sekalipun Bapak tahu saat itu aku sedang membencinya, tetapi bapak senantiasa tetap menyayangiku. Maka Bapak, izinkan aku membagi kisah kita berdua. Semoga rima-rimanya akan mendetingkan lebih banyak nurani lagi.

Selama 23 tahun usiaku, hal terburuk yang pernah kulakukan adalah ketika aku pernah bilang pada bapak dengan setengah berteriak, “aku tidak bisa menerima, aku tidak rido dan aku benci” kemudian aku berlari, membanting pintu dan menguncinya lantas menangis. Dan bapak hanya bisa menungguiku didepan pintu. Bapak hanya bisa berkata dengan tersendat, mungkin ada sejuta rasa yang mengganjal di benaknya.

Ketika itu bapak hanya bisa bilang, “Sewaktu kamu masih kecil, sewaktu kamu sakit, bapaklah yang gendong kamu terus.” Kemudian bapak terdiam. Bapakku yang biasanya cerewet, bapakku yang biasanya garang telah hilang ditelan suram. Bapak memilih membisu sekian jam lamanya.

Bapak hanya berkata dengan satu kalimat, tapi bapak tidak sadar jika satu kalimat itu memantik ribuan memori yang mampu mencairkan puncak egoismeku. Tentu aku masih ingat sampai sekarang, Bapak tidak hanya menggendongku saat aku sakit. Aku masih ingat sekali waktu kita mendaki gunung.

Aku dan teman-teman yang lain kelelahan. Kemudian bapak meraih tubuh adikku untuk ditaruh di lengan kanannya. Kemudian merengkuh tubuhku untuk ditaruh di lengan kirinya. Bapak menggendong aku dan adikku saat mendaki. Saat itu aku bangga sekali. Aku memandangi teman-temanku dalam gendongangan bapak sembari tersenyum pongah. Tersenyum untuk pamer, “lihatlah, aku punya bapak yang kuat”

Saat berpergian jauh, Bapak juga menggendongku terus. Karena sewaktu kecil aku selalu mabuk kendaraan. Bila aku di dudukkan,maka perutku akan terasa mual bukan main. Aku akan terus muntah sampai keluar cairan bening, sampai lidah terasa pahit. Seolah-olah isi perut ini sudah habis. Dan aku akan berhenti muntah, bila perutku berada di posisi telentang. Maka bapaklah yang merebahkan tubuhku dipangkuannya. Bapak membopongku dalam posisi duduk 8 jam lamanya. Itulahyangharus dilakukann bapak setiap tahun, setiap kali ketika kami mudik kerumahnenek.

Pernah suatu ketika kami sekeluarga bepergian dengan bus. Bapak mengajakku pindahtempat duduk menjauh dari ibu dansaudara-saudaraku. Bapak melatihku untuk duduk, kemudian aku muntah-muntah terus. Bapak menadahinya dengan tas kresek. Lalu bilang, “Tidurlah, kresek muntahanmu ini akan bapak buang. Jadi nggak ada yang tahu kalau kamu muntah”

Ketika sampai di terminal, Ibu bilang padaku, “kok wajahmu pucat? Tadi kamu mutah ya?” Saat itu bapak bilang “Nggak, dia nggak muntah kok” Saat-saat seperti itulah aku merasa, bapak adalah pahlawanku. Mabuk kendaraan merupakan suatu aib di keluargaku. Apalagi kalau diketahui saudara-sudaraku. Dan bapak rela berbohong untuk diriku.

Tentang Agus Waldiono

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *