SAUDARA setanah air kita banyak merantau ke negeri jiran ini, baik dengan keahlian professional, akademisi, maupun yang bekerja sebagai pembantu rumah dan buruh pabrik. Semua aktivitas mengais rezeki ditekuni sebagai rangka menjalani takdirNya, ada kalanya ketidak-tahuan atau halmiskomunikasi dapat membuahkan problematika yang tak ringan penyelesaiannya di tanah rantau. Sedikit kisah dalam rubrik khas Ramadhan kali ini, semoga dapat menjadi cambuk motivasi dan bumbu hikmah serta semangat berbagi bagi kita semua.
Dengan melindungi privasi serta menjaga aib saudara kita, maka kisah ini penulis rangkum menggunakan ‘gaya aku’.
***
Sebenarnya aku berumur lima belas tahun, namun ‘katanya kalau bekerja di luar negeri’, harus sudah berumur 21 tahun, maka di biodataku tertulis umur 21 tahun. Bukan membuat tipuan, kata pamanku, kalau tak begitu, aku tidak bisa diberangkatkan bekerja. Aku berangkat melalui jalur pengurusan tenaga kerja di kota, sementara dusun kami berada di atas bukit, daerah Jawa.
Sebanyak utang yang harus ditanggung orang tuaku, ternyata aku cuma bisa bertahan tiga bulan di negeri jiran. Tanpa bekal tabungan sepeser pun. Akan tetapi, orang tuaku tidak marah, sebab ternyata agent alias calo yang membawaku sudah menipu kami. Ia mengantongi ribuan Ringgit Malaysia yang didapat dari majikanku, yang seharusnya separuh dari uang itu adalah gaji buatku.
Untung belum dapat diraih, majikanku keturunan India dan ketat dalam urusan jatah makanan di dapur. Majikan yang lelaki begitu sangar. Dan keluarga mereka sering berkata kasar.
Aku berjumpa bapak dan ibu WNI yang mengajarkan banyak ketrampilan setelah kejadian pahit kualami. Selama dua bulan awal bekerja, jika tak ada nyonya, tuan lebih ramah kepadaku. Aku sudah merasa sangat tidak nyaman.
Hari itu jelang siang, tuan mengejutkanku di dapur, merangkulku dari belakang sampai aku sulit bernafas. Spontan, aku meronta, dan berlari keluar rumah dengan menggunakan sepotong baju di badan saja. Tadinya dia sempat mengejar, menimbulkan sedikit suara berisik di rumah tersebut. Aku sangat takut, dan mengikuti saja kemana langkah kaki berlari.
Di pinggir jalan raya kota Melaka, seorang supir taksi memberi tumpangan, beliau mendengarkan ceritaku sambil ikut menangis, lalu mengantarkanku ke tempat tetangganya yang orang Indonesia. Aku sangat malu, tetapi amat bersyukur karena telah selamat dari kekejian majikanku.
Beberapa hari di sana, aku diajak bertenang diri dengan sholat dan mengaji, diajari memasak dan membuat sedikit pernak-pernik dari pita. Lalu pak supir taksi penolong itu membawaku ke penampungan/ shelter di KBRI, supaya ada pertolongan pihak pemerintah untuk kepulanganku. Sungguh supir taksi yang baik hati, aku tidak perlu membayar ongkos katanya, padahal itu adalah perjalanan luar kota. Aku sangat terharu.
Aku tidak menyangka bahwa lebih banyak lagi teman di penampungan yang pengalamannya jauh lebih berat dari hal yang kualami, dan mujurnya aku hanya tiga bulan berada di rantau. Sedangkan banyak sahabat di penampungan yang tidak bisa pulang ke tanah air selama bekerja bertahun-tahun.
Dengan pertolongan pihak KBRI untuk menghubungi keluarga, aku kembali pulang, orang tua menjemputku di bandara tanah air. Alhamdulillah, meski tak ada uang sepeser pun, aku dapat mempraktekkan beberapa ‘pelajaran’ memasak dan merangkai pita-pita yang diajarkan sang ibu penolong. Kini aku membantu kerja di swalayan atas ajakan kakak sepupu di ibu kota Jakarta. Sesekali aku menerima tempahan cemilan dari teman-teman karyawan swalayan dan dapat membantu keperluan keluarga sehari-hari.
Satu pesan ustadzah yang berceramah di penampungan, menjadi peganganku saat berada di tanah air, “Bahwa ilmu yang berkah adalah ilmu yang bermanfaat, diamalkan dengan niat karena Allah, meskipun ‘di mata manusia’ itu hanya secuil ilmu…”
Walau telah berlalu, tiga bulan pengalaman berharga itu selalu menjadi ingatanku, harta yang hilang bisa dicari lagi, Alhamdulillah bukan harga diri yang melayang.