Minggu , September 8 2024

Ushul Fiqh, Memahami Kaidah Darurat

Oleh : Tommy Abdillah_
(Founder Majelis Ilmu Nuha)
Agama Islam dibangun atas dasar fundamental Aqidah Islam Laa ilaha illallah Muhammad Rasulullah. Diatasnya dibangun dan terpancar pilar-pilar sejumlah hukum syara’ baik hukum tentang perbuatan manusia maupun hukum tentang benda. Tidak ada wujud iman seorang hamba bila tidak taat kepada Allah SWT untuk mengerjakan segala perintah-perintah Allah dan menjauhi segala larangan-larangan Allah. 
Sumber-sumber dalil syara’ adalah Al-qur’an dan Al-hadist sebagai acuan untuk melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan Allah. Untuk memahami dalil-dalil syara’ dibutuhkan sejumlah ilmu alat apakah bahasa Arab, Ilmu Tafsir, ilmu Hadist dan ilmu Ushul Fiqh. 
Makna ilmu Ushul Fiqh
Ushul fiqih (أصول الفقه) tersusun dari dua kata, yaitu ushul (أصول) dan fiqh (الفقه). Pengertian ushul (أصول) secara bahasa : Ushul (أصول) merupakan jamak (bentuk plural/majemuk) dari kata ashl (أصل) yang berarti dasar, pondasi atau akar.
Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani rahimahullahu didalam kitab Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah Juz 3, menyatakan bahwa arti ashlun (أصل) secara bahasa adalah perkara yang menjadi dasar bagi yang lain, baik pd sesuatu yang bersifat indrawi seperti membangun dinding di atas pondasi atau bersifat ‘aqli, seperti membangun ma’lul diatas ‘illah dan madlul diatas dalil.
Sedangkan pengertian Al-fiqh (الفقه) berarti pemahaman (الفهم). Al-fiqh (الفقه) menurut istilah mutasyarri’in (ahli syari’ah) adalah ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat aplikatif yang digali dari dalil-dalil yang terperinci.
(العلم بالأحكام الشرعية العملية المستنبطة من الأدلة التفصيلية).
Ruang lingkup fiqih terbatas pada hukum-hukum yang bersifat aplikatif dan furu’i atau cabang dan tidak membahas perkara-perkara i’tiqad atau keyakinan.
Menurut Syaikh Prof.Dr. Wahbah az-Zuhaili rahimahullahu, Ilmu ushul fiqh adalah kaidah-kaidah yang dengannya seorang mujtahid bisa mencapai istinbath (penggalian hukum) terhadap hukum-hukum syar’i dari dalil-dalilnya yang terperinci.(Kitab Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh).
Kaidah Dharurat
Diantara kaidah ushul fiqh adalah kaidah tentang darurat. Kaidah ini sering dijadikan oleh sebagian orang sebagai argumentasi justifikasi suatu keharaman atau suatu kemaksiatan. Argumentasi darurat yang tidak sesuai dengan tempatnya terkadang hanyalah dijadikan sebagai dalih pembenaran atas sesuatu yang telah diharamkan oleh Allah SWT. Sebagai contoh pembenaran dalam perkara transaksi ekonomi ribawi, legalisasi tempat-tempat maksiat atau justifikasi politik Demokrasi pragmatis.
Kaidah yang masyhur tsb adalah :
الضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ المحْظُوْرَات
Artinya : “Keadaan darurat membolehkan suatu yang terlarang.”
Secara bahasa kata dharurah mempunyai arti kebutuhan (hajah), sesuatu yang tidak dapat dihindari (laa madfa’a lahaa) dan kesulitan (masyaqqah). (Ref : Kamus Al-Mu’jam Al-Wasith hal 538)
Imam Suyuthi rahimahullahu mengatakan darurat adalah sampainya seseorang pada batas di mana jika ia tidak memakan yang dilarang, ia akan binasa (mati) atau mendekati binasa.(Ref : Kitab Al-Asybah Wa An-Nazha’ir hal 61).
Sementara menurut Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani rahimahullahu menyatakan, definisi darurat adalah keterpaksaan yang sangat mendesak yang dikhawatirkan akan dapat menimbulkan kebinasaan atau kematian.(Ref : Kitab Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah Jilid III hal 477)
Definisi dharurat ini menghasilkan sejumlah pengertian. 
1. Dharurat adalah uzur syar’i yang menuntut seseorang melakukan sesuatu yang dilarang atau diharamkan. Ini berbeda dengan hukum alternatif yang ditetapkan oleh syariah yang disebut dengan rukhshah. Karena itu uzur yang membolehkan keharaman tsb harus ditetapkan batasannya oleh syari’ah.
2. Dharurat adalah kondisi yang memaksa dan biasanya tidak ada sesuatu pun yang bisa menolaknya.
3. Dharar tersebut nyata-nyata mengancam jiwa bukan yang lain.
Adapun hajat (kebutuhan) berbeda dengan dharurat walaupun memang dalam hajat dan dharurat itu terdapat masyaqqah (kesulitan). Hanya saja kesulitan yang ada dalam hajat bukanlah sesuatu yang mulji‘ (bersifat memaksa), karena tidak mengakibatkan kebinasaan jiwa atau cacatnya anggota badan. Hukum hajat itu berbeda dengan hukum dharurat. (Ref : Syaikh Usama yaqub, Fiqh Darurat)
Dari definisi darurat yang rajih diatas kita dapat mengetahui cakupan darurat, yaitu :
1. Kondisi terpaksa yang berkaitan dengan pemeliharaan jiwa (Hifzh an-nafs) misalnya orang kelaparan yang terancam jiwanya yang tidak mendapatkan makanan selain daging babi atau bangkai atau seperti orang yang diancam akan dibunuh jika tidak mau mengucapkan kata kufur, asalkan hatinya tetap beriman.
2. Adapun tujuan syari’ah lainnya, misalnya pemeliharaan harta (Hifzh al-mal), sebenarnya bukanlah termasuk cakupan darurat. 
Jadi tidak benar fatwa yqng membolehkan mengambil atau memanfaatkan bunga bank (riba) dari bank konvensional atau memilih pemimpin yang menerapkan hukum sekuler karena alasan darurat. (Ref : KH.Siddiq Al-jawi : Bolehkah Riba Dihalalkan karena alasan darurat?).
Penutup
Semoga kita mampu istiqomah untuk tetap terikat dengan hukum-hukum syari’at Islam yakni menjadikan halal dan haram sebagai standarisasi kebenaran bukan standarisasi maslahat dan mafsadat sebagai dalih pembenaran.
Wallahu a’lam

Tentang Tommy Abdillah

Founder Majelis Ilmu Ulin Nuha, Founder Rumah Tahfidz Al-Quran Ulin Nuha Medan, Praktisi Ruqyah Syar'iyyah As-syifa' Medan, Admin Taushiyah Group Whatsapp, Penulis buku Taushiyah Group BBM, Taushiyah Senja.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *